Minggu, 19 Mei 2013

PEMBERDAYAAN KAUM PEREMPUAN UNTUK MENGHAPUS TINDAK DISKRIMINASI



BAB I PENDAHULUAN

1.1 Penegasan Mengenai Judul

Judul “PEMBERDAYAAN KAUM PEREMPUAN UNTUK MENGHAPUS TINDAK DISKRIMINASI” ini diambil karena menurut penulis hak-hak asasi perempuan di Indonesia sangatlah kurang diperhatikan Indonesia. Oleh sebab itu, marilah kita sebagai generasi muda mencoba memahami arti dari hak asasi itu sendiri kemudian tanamkan pada diri masing-masing sehingga timbul rasa kesadaran dalam menegakkan hak asasi manusia. Maka dengan sendirinya hak asasi di Indonesia khususnya hak asasi perempuan akan berjalan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.
Sejarah menunjukkan betapa perempuan telah didiskriminasi hak-haknya secara  umum dan hak politiknya secara khusus. Hal ini bahkan telah terjadi sejak zaman prasejarah. Pada zaman megalithikum (zaman batu besar) dimana manusia mengalami perkembangan pesat dalam kehidupan, yaitu manusia mulai menyadari bahwa manusia membutuhkan pemimpin untuk memimpin anggota masyarakat dan pada zaman itu, manusia mengenal sistem pemerintahan primus interpares atau kepala suku. Ironisnya, yang sering dianugerahi kepala suku adalah kaum laki-laki karena dianggap dapat berburu, berperang dan bercocok Hal ini tidak jauh berbeda dari masa ke masa bahkan sampai “kemonarkian” ditinggalkan oleh negara-negara.
Saat sistem pemerintahan parlementer dan presidensial menjadi sistem pemerintahan dari mayoritas negara-negara dunia diabad 20, diskriminasi terhadap perempuan masih tetap saja ada. Kepala Negara dan yang bekerja didunia politik sebagian besar adalah kaum adam. Sedangkan perempuan yang berjumlah minoritas di pemerintahan hanya diberikan porsi untuk mengurusi pos-pos kurang penting. Hal ini kemudian membuat politik dunia dianggap sebagai politik maskulin. 
Perjuangan perempuan untuk mendapatkan hak-haknya sebagai manusia pada umumnya dan sebagai bagian dari masyarakat merupakan perjuangan yang tidak kenal henti. Sejarah menunjukkan betapa ketidakadilan yang selama ini menimpa kaum perempuan yang telah menjadi katup yang meledakkan seluruh pejuang perempuan dimuka bumi ini.Perempuan menjadi tertantang untuk memperjuangkan hak-haknya. Kesabaran perempuan-perempuan diseluruh dunia kemudian membuat dunia menyadari bahwa betapa perlunya perlindungan terhadap perempuan.
Lewat Perserikatan Bangsa-Bangsa/PBB atau United Nations sebagai organisasi dunia kemudian mencetuskan perlindungan terhadap perempuan. Dalam Mukadimah Piagam PBB yang ditandatangani tanggal 26 Juli  1945 dapat antara lain dibaca bahwa bangsa-bangsa yang bersatu dalam PBB berketetapan hati atau bertekad untuk kembali memperkuat keyakinan atau kesetiaan mereka terhadap Hak-Hak Asasi Manusia (HAM), martabat dan nilai luhur dari manusia sebagai pribadi serta terhadap persamaan hak pria dan wanita dan persamaan hak dari negara besar dan kecil.
Perlu diketahui bahwa pada tahap awal ketika naskah piagam ini disusun, pencantuman larangan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin tidak ada. Bagian itu baru dimuat berkat desakan dari wakil-wakil 42 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memperoleh pengakuan sebagai peserta dalam pertemuan-pertemuan penyusunan Piagam. Piagam PBB inilah yang merupakan dokumen hukum pertama yang secara tegas memuat persamaan  hak dari semua orang dan menyatakan bahwa diskriminasi berdasarkan jenis kelamin adalah bertentangan dengan hukum.
Namun, hal tersebut belum sepenuhnya menjamin perlindungan terhadap perempuan. Pada kenyataannya, masih banyak perempuan yang diperlakukan secara diskriminatif. Contohnya adalah di Bostwana, Chili, Lesotho, Namibia dan Swaziland perempuan selalu dibawah pengawasan suami dan tidak mempunyai hak untuk mengelola harta milik, disejumlah negara Afrika, perempuan menikah tidak mendapat hak untuk memiliki tanah walaupun melalui perkawinan ia mendapat hak untuk menggunakan tanah. Selain itu, di sejumlah negara Arab perempuan harus mendapat izin suami untuk membuat paspor dan hal tersebut tidak berlaku sebaliknya. Masih banyak upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk menjamin pernyataan persamaan tersebut dan larangan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin akan menjadi pedoman dalam pola perilaku.
Suatu upaya mendasar yang dirasa perlu oleh PBB dan para aktivis HAM adalah perumusan dari ukuran-ukuran yang secara internasional disepakati sehingga akan terwujud instrumen-instrumen internasional yang disepakati sehingga akan terwujud pemajuan persamaan antara pria dan wanita. Upaya lain yang ditempuh PBB adalah membentuk Komisi Kedudukan Wanita. Komisi ini pada mulanya berstatus sebagai subkomisi saja yang menjadi bagian dari komisi HAM dan harus melapor pada komisi HAM. Pada bulan Juni 1946, Komisi Kedudukan Wanita diberi status sebagai komisi yang secara langsung berada dibawah Economic and Social Council (ECOSOC).
Kebutuhan untuk menyusun instrumen yang memiliki daya mengikat, yaitu suatu konvensi yang merumuskan hak-hak wanita semakin dirasakan. Maka ECOSOC meminta Komisi Kedudukan Wanita untuk menyusun rancangan Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadp Wanita. Setelah melalui proses penyusunan rancangan, penerimaan usulan dari pemerintah dan saran-saran dari LSM, akhirnya pada tanggal 18 Desember 1976, Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita atau Convention on Ellimination of all form of Discrimination Against Woman (CEDAW) atau yang sering disebut dengan Konvensi Wanita diterima dalam sidang Umum dengan 130 negara setuju dan 11 negara abstain. Di Indonesia sendiri konvensi ini diratifikasi melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 dan diundangkan di Jakarta tanggal 24 Juli 1948.
Konvensi wanita membuat perhatian perempuan terhadap penghapusan diskriminasi terhadap perempuan didunia semakin meningkat. Kesadaran perempuan untuk memperjuangkan nasibnya semakin kuat. Hal ini ditandai dengan banyaknya konferensi-konferensi perlindungan perempuan yang tidak sedikit pula menghasilkan konvensi. Tidak hanya itu, hal itu juga memunculkan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat / Non Governmental Organization atau NGO kesetaraan terhadap perempuan.

1.2  Alasan Pemilihan Judul

Alasan penulis memilih judul “PEMBERDAYAAN KAUM PEREMPUAN UNTUK MENGHAPUS TINDAK DISKRIMINASI”  karena pada saat sekarang ini banyak terjadi diskriminasi dan kekerasan terhadap kaum perempuan di Indonesia. Para perempuan di Indonesia belum menikmati hak-hak yang harusnya mereka miliki.Perbaikan nasib pekerja perempuan Indonesia kerap menimbulkan banyak kontroversi dan merupakan isu yang tak pernah habis untuk diperbincangkan.
Meskipun pemerintah Republik Indonesia telah melakukan ratifikasi terhadap Konvensi ILO, khususnya Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi Pekerjaan dan Jabatan, ternyata masih ada beberapa kasus yang menunjukkan  kurangnya pengawasan pemerintah terhadap realisasi standarisasi di atas. Kebanyakan perempuan pekerja belum menikmati penghargaan dan penghormatan yang sama dengan laki-laki sesuai dengan sumbangannya dan beban kerjanya sebagai dampak dari diskriminasi yang terus-menerus terjadi. Kaum perempuan masih menghadapi beragam masalah dalam mengakses pendidikan dan pelatihan, dalam mendapatkan pekerjaan, dan dalam memperoleh perlakuan yang sama di tempat kerja.
Yayasan Jurnal Perempuan melalui situs resminya (http://jurnalperempuan.com) dalam artikel yang berjudul “Hak-hak Buruh (Pekerja) Perempuan” diterbitkan pada tanggal 25 Mei 2011, ditemukan adanya diskriminasi pemberian upah terhadap perempuan. Upah perempuan lebih rendah dari laki-laki karena buruh perempuan selalu dianggap berstatus lajang. Buruh perempuan tidak mendapat tunjangan keluarga, serta jaminan sosial untuk suami dan anak. Kemudian, perempuan sangat sulit memperoleh promosi jabatan karena selalu ditempatkan di posisi yang lebih rendah dari laki-laki, yang tidak mensyaratkan pendidikan dan keterampilan yang tinggi. Perempuan ditempatkan pada pekerjaan yang hanya membutuhkan ketekunan, ketelitian, dan kerapihan, dan biasanya hanya mengerjakan satu jenis pekerjaan setiap hari selama bertahun-tahun. Kendala-kendala ini dapat menimbulkan pelanggaran akan hak-hak dasar serta menghambat kesempatan kaum perempuan dalam dunia kerja. Pada gilirannya akan merugikan masyarakat dan perekonomian Indonesia mengingat hilangnya kontribusi besar yang dapat diberikan kaum perempuan melalui tempat kerja.
Meskipun perempuan Indonesia hari ini jauh lebih maju dibanding pada beberapa masa yang lalu, tetapi hal tersebut ternyata tidak memberikan kontribusi yang cukup baik bagi posisi perempuan di dunia kerja. Pemerintah bahkan lebih menomorduakan penyelesaian masalah diskriminasi perempuan. Sehingga masalah ini seakan-akan terlihat hanya milik kaum perempuan saja, bukan sebagai permasalahan bersama antara laki-laki dan perempuan.
Ketika perempuan masuk di dunia kerja, sering mengalami diskriminasi dan peminggiran yang didasari pada keyakinan dan perilaku yang menetapkan perempuan dalam posisi lebih rendah dibanding pekerja laki-laki. Nasib pekerja perempuan Indonesia bergantung kepada kepedulian pemerintah untuk lebih serius memikirkan serta memberi perlindungan terhadap warganya. Dengan adanya diskriminasi bahkan menunjukkan adanya eksploitasi terhadap perempuan Indonesia hingga saat ini merupakan bukti nyata bahwa kurang terlindunginya hak-hak pekerja perempuan di Indonesia.
Banyak pertanyaan berkaitan dengan masalah diskriminasi terhadap perempuan baik pada tingkat regional maupun dunia. Untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut, Konvensi perempuan disusun dan diterima oleh Sidang Umum PBB tanggal 18 Desember 1979, kemudian diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang No. 7 Tahun 1984, tanggal 24 Juli 1984. Segala bentuk instrumen yang sudah ada sampai saat ini belum efektif dan maksimal, dengan demikian perlu ada pembenahan-pembenahan hak-hak perempuan dan penghapusan diskriminasi. 
Di Tahun 1984 Indonesia melalui Undang-undang No. 7 Tahun 1984 telah meratifikasi Konvensi Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, ratifikasi ini jelas memperlihatkan bahwa Indonesia mempunyai kewajiban melaksanakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam konvensi perempuan dengan menciptakan kepastian dan penegakan hukum dan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang non diskriminasi. 
Banyak kalangan yang pesimis terhadap dampak dari konvensi perempuan ini untuk memajukan status perempuan di Indonesia, karena apa yang dijanjikan dan apa yang sudah tertuang dalam undang-undang belum tentu bisa diwujudkan dalam kenyataan. Namun para pemerhati masalah perempuan menganggap bahwa ratifikasi konvensi perempuan ini sesungguhnya bisa dijadikan alat untuk memajukan kesetaraan gender. Caranya adalah dengan melakukan kajian-kajian terhadap berbagai peraturan yang ada, pengamatan terhadap praktek-praktek yang diskriminatif serta penyebarluasan isi dari konvensi perempuan tersebut. 
Hasil dari semua studi bisa diimplementasikan kepada para pengambil kebijakan untuk mengingatkan pemerintah akan komitmen yang telah dibuat sehingga dapat memberi motivasi bagi percepatan terwujudnya keadilan jender. Selain itu dengan memperluas jaringan hubungan dengan lembaga-lembaga serta pemerhati masalah perempuan, diharapkan akan semakin banyak orang yang menaruh perhatian terhadap ketimpangan jender dan upaya untuk memperjuangkan keadilan jender akan lebih berdaya guna. Bahwa dalam Pasal 11 Konvensi perempuan yang lengkapnya memuat ketentuan mengenai:
a. Hak atas pekerjaan yang sama dengan laki-laki, kebebasan memilih provesi, pekerjaan, promosi dan pelatihan.
b. Upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya.
c. Hak perempuan terhadap jaminan sosial.
d. Hak mendapatkan jaminan kesehatan dan keselamatan kerja.
e. Hak perempuan untuk tidak diberhentikan dari pekerjaan dan tetap mendapat tunjangan karena kawin, hamil, hak akan cuti haid dan melahirkan.
f. Hak untuk mendapatkan pelayanan sosial supaya perempuan dapat menggabungkan kewajiban keluarga untuk mendapatkan upah yang layak.
Tentang hak perempuan adalah hak asasi perempuan memberikan  pengalaman sebagai suatu pernyataan dan penegasan, bahwa hak-hak yang melekat dalam diri perempuan.

Perempuan adalah manusia juga yang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat sama halnya dengan laki-laki sehingga tidak ada diskriminasi dalam bidang apapun. Permasalahan ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1 Deklarasi Sedunia tentang hak-hak asasi manusia yang berbunyi “Semua orang yang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama”. Permasalahan yang mungkin timbul adalah apakah pengertian antara hak hak asasi, sama dengan hak-hak manusia karena dalam bahasa asalnya tampaknya ada perbedaan pengertian tetap dalam pembicaraan kali ini tidak diperdebatkan.
Yang di maksud dengan hak asasi manusia secara umum dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia, yang bila tidak mustahil kita akan dapat hidup sebagai manusia termasuk di dalamnya adalah hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak-hak sipil dan politik.
Hak perempuan yang dimaksudkan adalah hak-hak yang melekat pada diri perempuan yang dikodratkan sebagai manusia sama halnya dengan laki-laki yang diutamakan adalah hak untuk mendapatkan kesempatan dan tanggung jawab yang sama dengan laki-laki di segala bidang kehidupan. Hak untuk memperoleh kedudukan dan perlakuan yang sama dengan laki-laki. Sebagaimana yang di maksud dalam pengertian hak-hak asasi yang termasuk di dalamnya hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak-hak sipil dan politik.
Kenyataan menunjukkan bahwa perlakuan diskriminasi terhadap perempuan masih banyak ditemui walaupun sudah ada berbagai aturan serta peraturan perundang-undangan lainnya. Seperti halnya di Indonesia sejak awal berdirinya Republik ini secara tegas dicantumkan di dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945 tentang adanya persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan antara lain Pasal 27 (1) UUD 1945, segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 berbunyi tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, dan juga di dalam beberapa pasal yang lainnya Pasal 29 ayat (2), Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1) UUD 1945. Bahwa dari uraian tersebut di atas, dapat diketahui betapa pentingnya fungsi undang-undang dan peraturan-peraturan dalam mewujudkan keadilan jender agar tidak terdapat ketentuan hukum yang non diskriminasi. Kenyataan yang ada menunjukkan masih jauh dari harapan, padahal kita mengetahui bersama bahwa sudah cukup banyak perempuan yang berpendidikan yang dapat diberi tanggungjawab sebagai penentu kebijakan nasional.
Tetapi ternyata dalam prosentase perempuan yang mendapat kesempatan tanggungjawab untuk itu masih sangat kecil. Hal ini merupakan masalah besar yang membutuhkan penanganan lebih lanjut untuk dibenahi oleh pemerintah.

1.3 Tujuan Research di Selenggarakan

Tujuan karya ilmiah ini dibuat agar lebih mengetahui dan paham tentang hak asasi manusia di Indonesia khususnya tentang hak asasi perempuan di Indonesia. Memahami arti diskriminasi dan kekerasan yang sebenarnya serta upaya-upaya penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap kaum perempuan. Serta mengetahui hukum-hukum yang mengatur tentang masalah hak asasi perempuan khususnya di Indonesia. Makadari itu karya ilmiah ini sangatlah penting dan bermanfaat bagi kita semua.

1.4  Sistematika

Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri atas 5 (lima) bab sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan. Bab ini terdiri dari penegasan mengenai judul yg diambil, alasan pemilihan judul tersebut, tujuan research/penulisan karya ilmiah diselenggarakan, dan sistematika penulisan karya ilmiah.
penulisan.
BAB II Analisis Landasan Teori. Dalam bab ini akan dibahas mengenai sejumlah konsep teori yang ada dan berhubungan dengan pokok bahasan yang diangkat, penampilan anggapan atau pendapat, pernyataan hipotesa, dan hasil yang diharapkan.
BAB III Analisis dan Penetapan Methode yang Digunakan. Dalam bab ini dikemukakan tentang sampel dan prosedur sampling, methode dan proses pengolahan data, seta methode dan prosedur penganalisaan data.
Bab IV Pengumpulan dan Penyajian Data. Merupakan bab yang mengungkapkan secara singkat menegenai masalah, serta penyajian tabel, diagram, atau grafik.
Bab V Analisa Data. Bab ini membahas mengenai analisa data yang digunakan seperti analisa statistik, kwalitatif, atau komparatif. Lalu mengungkapan kesimpulan dari analisa tersebut.
Bab VI Kesimpulan dan Saran. Pad bab ini diungkapkan kembali secara singkat tentang masalah, menyatakan kembali methode yang digunakan, mengutarakan kembali penggarapan masalah, serta saran dan kesimpulan yang relevan.






Sistematika Penulisan Secara Singkat :
A. Bagian Permulaan
 Judul
 Kata Mutiara
 Kata Pengantar
 B. Bagian Analisa 
 Pendahuluan
 Analisa Landasan
 Analisa dan Penetapan Metode yang Digunakan
 Pengumpulan dan Penyajian Data
 Analisa Data
 Kesimpulan dan Saran
C. Bagian Akhir  
Daftar Pustaka
Lampiran
Indeks

BAB II ANALISA LANDASAN


2.1 Analisa Hasil-Hasil         

A. PENGERTIAN KEKERASAN 
Kekerasan merupakan tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemukulan, pemerkosaan, dan lain-lain) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, dan hingga batas tertentu tindakan menyakiti binatang dapat dianggap sebagai kekerasan, tergantung pada situasi dan nilai-nilai sosial yang terkait dengan kekejaman terhadap binatang. Istilah “kekerasan” juga mengandung kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak. Kerusakan harta benda biasanya dianggap masalah kecil dibandingkan dengan kekerasan terhadap orang.
Kekerasan pada dasarnya tergolong ke dalam dua bentuk kekerasan sembarang, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak terencanakan, dan kekerasan yang terkoordinir, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok baik yang diberi hak maupun tidak seperti yang terjadi dalam perang (yakni kekerasan antarmasyarakat) dan terorisme.
Perilaku kekerasan semakin hari semakin nampak, dan sunguh sangat mengganggu ketentraman hidup kita. Jika hal ini dibiarkan, tidak ada upaya sistematik untuk mencegahnya, tidak mustahil kita sebagai bangsa akan menderita rugi oleh karena kekerasan tersebut. Kita akan menuai akibat buruk dari maraknya perilaku kekerasan di masyarakat baik dilihat dari kacamata nasional maupun internasional.
Saat ini kita sebagai bangsa sudah dituding oleh beberapa negara lain sebagai sarang teroris, terlepas dari benar tidaknya tudingan itu. Di mata mancanegara, hidup di Indonesia menyeramkan. Sedangkan sebaliknya, kita di negeri ini yang setiap hari hampir tak pernah bebas dari berita-berita kekerasan, mulai dibelajarkan dan terbiasa. Tuntutan untuk survive dan ketidakmungkinan untuk mengelakkan, menyebabkan masyarakat belajar hidup dalam situasi yang paling sulit sekalipun. Dan pada akhirnya perlahan-lahan kita mulai menerima karena terbiasa. Kekerasan telah menimbulkan tidak saja kerugian materil tapi lebih dari itu, dampak psikis hingga merenggut nyawa akibat dipergunakannya pola-pola kekerasan.
Derap reformasi, yang dibarengi euforia demokrasi dan kebebasan, kebangkitan etnis serta kegandrungan berotonomi daerah, tidak hanya merupakan pergeseran dari satu situasi ke situasi lain, tetapi telah keluar dari rel-nya yang menelorkan kerusuhan, anarkhisme yang disertai kekerasan sebagai alat yang akhirnya meminta darah dan airmata. Beragamnya latar belakang dan tingkat sosial masyarakat, maka persoalan hak dan kewajiban senantiasa muncul menjadi konflik sosial yang berkepanjangan dan terjadi di berbagai daerah. Konflik yang menggunakan simbol etnis, agama dan ras muncul yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan harta bagi pihak yang bertikai. Terlepas dari kemungkinan terjadinya konflik akibat adanya akumulasi “tekanan” secara mental, spiritual, politik sosial, budaya dan ekonomi yang dirasakan oleh sebagian masyarakat. Namun realitas tersebut merupakan kenyataan di mana telah terjadi pelanggaran hak hidup damai dan sejahtera dalam bermasyarakat.
Dalam perspektif HAM, kekerasan merupakan tindakan agresif yang langsung berakibat dibatasi atau dirampasnya hak-hak manusia. Kekerasan merupakan pelanggaran terhadap penegakan hak asasi manusia.
Berlanjutnya kekerasan dan tiadanya jawaban atas pertanyaan itu seakan menunjukkan lemahnya pemerintah menangani permasalahan di masyarakat. Masyarakat seolah harus menghadapi sendiri kekerasan-kekerasan yang terjadi. Padahal, negara bertanggung jawab untuk melindungi hak-hak warganya dari segala bentuk aksi kekerasan.
Secara sederhana, HAM adalah hak-hak yang dimiliki oleh setiap manusia sejak dia dilahirkan. Menurut Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama, sedangkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM; Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang  melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Undang-undang ini merupakan satu perwujudan dari kesiapan pemerintah untuk melindungi, memenuhi, dan menghormati HAM rakyatnya. HAM diklasifikasikan menjadi sepuluh hak dasar yang terbagi lagi ke dalam beberapa turunannya. Kesepuluh hak tersebut adalah :
1. Hak untuk hidup.
Hak untuk hidup dan meningkatkan taraf hidup, hidup tentram, aman dan damai dan lingkungan hidup.
2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan.
Hak untuk membentuk suatu keluarga melalui perkawinan yang sah.
3. Hak mengembangkan kebutuhan dasar: hak untuk pemenuhan diri, hak pengembangan pribadi, hak atas manfaat iptek, dan hak atas komunikasi.
4. Hak memperoleh keadilan.
Hak perlindungan hukum, hak keadilan dalam proses hukum, dan hak atas hukum yang adil.
5. Hak atas kebebasan dari perbudakan.
Hak untuk bebas dari perbudakan pribadi, hak atas keutuhan pribadi, kebebasan memeluk agama dan keyakinan politik, kebebasan untuk berserikat dan berkumpul, kebebasan untuk menyampaikan pendapat, kebebasan untuk menyampaikan pendapat, dan status kewarganegaraan. 
6. Hak atas rasa aman: hak mencari suaka dan perlindungan diri pribadi.
7. Hak atas kesejahteraan: hak milik, hak atas pekerjaan, hak untuk bertempat tinggal layak, jaminan sosial, dan perlindungan bagi kelompok rentan.
8. Turut serta dalam pemerintahan: hak pilih dalam pemilihan umum dan hak untuk berpendapat.
9. Hak perempuan.
Hak pengembangan pribadi dan persamaan dalam hukum dan hak perlindungan reproduksi.
10. Hak Anak.
Hak hidup untuk anak, status warga negara, hak anak yang rentan, hak pengembangan pribadi dan perlindungan hukum, dan hak jaminan sosial anak.
Kekerasan bagi masyarakat Indonesia seakan sudah menjadi bagian tidak terpisahkan. Jika kita menilik sejarah, kita dibesarkan dalam budaya dendam dan kekerasan. Praktik kekerasan terus berulang dan memakan korban jiwa dalam jumlah yang tidak kecil.
Istilah kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime Against Humanity) pertama kali digunakan dalam Piagam Nuremberg. Piagam ini merupakan perjanjian multilateral antara Amerika Serikat dan sekutunya setelah selesai Perang Dunia II. Mereka (Amerika Serikat dan sekutunya) menilai bahwa para pelaku (NAZI) dianggap bertanggung jawab terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan pada masa tersebut.
Definisi Kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Pasal 7 Statuta Roma dan Pasal 9 Undang-undang Nomor 26 Pengadilan HAM Tahun 2000, terdapat sedikit perbedaan tetapi secara umum adalah; Salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a. Pembunuhan;
b. Pemusnahan;
c. Perbudakan;
d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f. Penyiksaan;
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
i. Penghilangan orang secara paksa; atau
j. Kejahatan apartheid.
Definisi kejahatan tersebut di atas merupakan varian dari bentuk dan dampak dari tindakan kekerasan. Oleh karenanya kekerasan tak lain adalah wujud dari kejahatan. Oleh karena itu pula kekerasan itu dilarang. 
Kekerasan (violence), telah menjadi bagian sisi di kehidupan kita saat ini. Perkelahian, penculikan, penjarahan, penganiayaan dan pembunuhan telah menjadi fakta keseharian. Aksi-aksi teror dan intimidasi yang bermunculan dimana-mana merenggut rasa aman, menyebarkan ketakutan dan menambah ketidakpastian dan kebingungan masyarakat. Sungguh sebuah tantangan tersendiri dalam upaya kita membuka lembar sejarah baru di era reformasi ini.
B. ARTI DISKRIMINASI 
Sebelum kita membahas Anti Diskriminasi, mari kita telusuri dahulu apa yang di maksud dengan diskriminasi. Mengapa terjadi, jenis-jenis perlakuan apa yang termasuk dalam kategori diskriminasi, serta dampak negatif dari tindakan diskriminasi. Kemudian upaya-upaya apa yang telah dilakukan (dalam tataran pemerintah dengan kebijakannya) guna menanggulangi masalah diskriminasi.
Selanjutnya dari uraian itu kita akan bahas apa yang di maksud anti diskriminasi, mengapa perlu disikapi dan diterapkan.  Salah satu masalah terbesar yang muncul sejak lama di tengah umat manusia, adalah diskriminasi dan ketidakadilan. Di berbagai penjuru dunia berkali-kali muncul kebangkitan atau revolusi untuk menentang fenomena tidak manusiawi ini, dan telah mengorbankan banyak nyawa. Diskriminasi memang telah terjadi di mana-mana, di negara-negara berkembang seperti Indonesia, Malaysia bahkan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris. Ada berbagai diskriminasi, karena warna kulit, jenis kelamin, suku sampai diskriminasi karena agama, dan lain sebagainya. Hingga kini persoalan diskriminasi terhadap kaum minoritas di Indonesia masih merupakan masalah aktual.
Hal ini seharusnya tidak terjadi lagi, karena dalam masa reformasi ini telah diadakan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, serta oleh pemerintah sejak masa Presiden Habibie, Gus Dur, hingga Megawati telah dikeluarkan beberapa Inpres yang menghapuskan peraturan-peraturan pemerintah sebelumnya khususnya yang dikeluarkan pada masa Orde Baru yang bersifat diskriminatif.
Meskipun demikian, persoalan diskriminasi ini masih tetap saja terjadi. Di Indonesia, perlakuan diskriminatif yang terjadi antara lain didasarkan pada jenis kelamin, ras, usia, golongan masyarakat ekonomi-sosial yang lemah atau masyarakat kecil/tidak mampu, dan ini terjadi terus-menerus.
Dengan berbagai alasan, mulai dari ekonomi hingga politik demi menjaga kelangsungan kekuasaan. Malahan, akhir-akhir ini terjadi, berbeda dalam menyikapi pencalonan pemimpin mulai dari tingkat Lurah hingga Presiden, menjadi alasan untuk secara
diskriminatif memecat orang. Dunia sosial di negeri ini memang menganut paham realitas tunggal. Artinya yang berbeda dan yang di luar jalur dinyatakan salah. Lalu mereka pun disingkirkan. Faham realitas tunggal ini menuntut kepatuhan dan menolak segala kritik dan keberatan.
Seperti kita ketahui, pembatasan terhadap agama yang dilakukan oleh Indonesia terhadap warga negaranya, yang hanya mengakui ada 5 agama resmi di Indonesia yaitu agama Islam, Katolik, Protestan, Budha dan Hindu menjadikan agama atau kepercayaan lain di luar agama tersebut tidak dapat tumbuh dan berkembang. Kebijakan-kebijakan tersebut telah melahirkan praktek-praktek diskriminatif terhadap pemeluk agama atau kepercayaan yang tidak diakui agamanya oleh negara. Berdasarkan hal tersebut maka maraknya praktek-praktek pembatasan pendirian tempat peribadatan dan tempat-tempat suci dari suatu agama atau kepercayaan menjadi suatu praktek diskriminatif yang kerap terjadi di Indonesia.
Diskriminasi merujuk kepada pelayanan/perlakuan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana pelayanan/perlakuan ini dibuat berdasarkan kumpulan yang diwakili oleh individu yang lebih dominan. Diskriminasi menjadi suatu hal yang biasa dijumpai dalam masyarakat. Diskriminasi bertumpu pada kecenderungan manusia untuk membeda-bedakan manusia.  Diskriminasi berlaku dalam berbagai konteks. Bisa dilakukan oleh orang perorangan, institusi, perusahaan, atau bahkan oleh negara. Terdapat berbagai perlakuan yang dianggap sebagai diskriminasi.
Diskriminasi dianggap sebagai sesuatu yang tidak adil berdasarkan prinsip “setiap manusia harus diberi hak dan peluang yang sama” (equal opportunity).
Jika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik gender, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karakteristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan diskriminasi, jelas hal ini telah menyalahi prinsip dasar hak manusia.
Jadi, diskriminasi secara singkat, bisa kita simpulkan sebagai perlakuan terhadap orang atau kelompok yang didasarkan pada golongan atau kategori tertentu. Sementara itu dalam pengertian lain diskriminasi dapat juga diartikan sebagai sebuah perlakuan terhadap individu secara berbeda dengan didasarkan pada gender, ras, agama, umur, atau karakteristik yang lain. Dari kedua definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa inti dari diskriminasi adalah perlakuan berbeda-beda terhadap manusia.
Seperti kita ketahui penegakan hukum negara kita sangat lemahnya dalam melindungi hak sipil dan politik rakyat. Padahal ini merupakan ancaman setiap orang dalam menghadapi tekanan kekerasan dan kriminalitas. Ancaman ini terutama tertuju pada kelompok-kelompok minoritas, golongan ekonomi lemah, bahkan anak-anak. Keadaan ini sudah mencapai titik di mana masyarakat pun sudah tidak bisa mempercayai aparat pemerintah dalam meminta perlindungan hukum.
Akibat dari tindakan diskriminasi adalah tertumpuknya emosi seseorang, golongan, yang secara akumulatif akan bisa meledak dengan berbagai macam perilaku. Ujung ketidakpuasan ini akan menimbulkan dampak seperti permusuhan, peperangan, kerusuhan, dan berbagai tindakan anarkis. Upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi memang membutuhkan waktu yang lama dan harus dilakukan dengan komitmen yang kuat karena berkaitan dengan cara pandang dan struktur sosial. Tantangan lainnya adalah belum pulihnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja aparat pemerintah yang selama ini dipandang bersikap diskriminatif dalam menyelenggarakan pelayanan publik, rendahnya komitmen serta lingkungan yang tidak kondusif dalam mendukung upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi. Untuk mendukung upaya penghapusan diskriminasi dalam berbagai bentuk, sasaran pembangunan yang akan dicapai adalah: 
1. Teroperasionalkannya peraturan perundang-undangan yang tidak mengandung perlakuan diskriminasi baik kepada setiap warga negara, lembaga/instansi pemerintah, maupun lembaga swasta/dunia usaha secara konsisten dan transparan;
2. Terkoordinasikannya dan terharmonisasikannya pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang tidak menonjolkan kepentingan tertentu sehingga dapat mengurangi perlakuan diskriminatif terhadap warga negara; dan
3. Terciptanya aparat dan sistem pelayanan publik yang adil dan dapat diterima oleh setiap warga negara.
Upaya penghapusan diskriminasi dalam berbagai bentuk dalam kurun waktu satu tahun ke depan diarahkan pada kebijakan untuk menciptakan penegakan dan kepastian hukum yang konsisten, adil dan tidak diskriminatif dengan langkah-langkah:
1. Meningkatkan upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi termasuk ketidakadilan gender bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum tanpa terkecuali; dan 
2. Menerapkan hukum dengan adil, melalui perbaikan sistem hukum yang profesional, bersih dan berwibawa.
C. KONSEP GENDER                                                                          
Konsep gender merupakan konsep yang dipengaruhi oleh kedudukan dan pembagian peran antara laki-laki dan perempuan. Dalam bukunya yang berjudul “Analisis Gender dan Transformasi Sosial”, Mansour Fakih menjelaskan konsep gender yang dipahami sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan dikenal lemah dan lembut; cantik dan emosional. Sedangkan, laki-laki sering dianggap kuat dan perkasa; gagah dan rasional. Ciri dari sifat di atas merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan.
Munculnya perbedaan dalam konsep gender antara laki-laki dan perempuan dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara (Mansour Fakih:2008, 8). 
Masyarakat yang berbeda memiliki banyak gagasan yang berbeda tentang cara yang sesuai bagi perempuan dan laki-laki untuk berperilaku seharusnya. Hal ini memperjelas sejauh mana peran gender bergeser dari asal-usulnya ke dalam jenis kelamin biologis kita (Julius C. Mosse:1996).
Seringkali konsep gender disalah pahami sebagai konsep yang melekat secara kodrati dalam diri manusia (laki-laki dan perempuan). Hal yang sifatnya kodrati ini biasanya dilandasi dengan konsep seks (jenis kelamin). Padahal sebagian besar dari sesuatu yang dewasa ini sering dianggap sebagai kodrat, sebenarnya merupakan konstruksi sosial dan kultur, atau gender. Perempuan Indonesia selalu dikonotasikan sebagai sesosok makhluk yang lemah lembut dan lebih mengedapankan sisi emosionalnya sehingga perlu dilindungi, sedangkan laki-laki digambarkan sebagai sosok manusia yang gagah, perkasa dan lebih rasional, sehingga lebih bisa menjadi pelindung.
Akibatnya, perempuan sejak kecil sudah disosialisasikan untuk melakukan peran partikularistik uang bersifat domestik. Sedangkan, laki-laki disosialisasikan untuk berperan universal (publik). Pencitraan ini dimantapkan dan dilembagakan dalam tatanan nilai masyarakat sebagai acuan bertindak (Hubeis, AV:2010).
Pencitraan ini mengakibatkan banyak orang berpendapat bahwa pekerjaan dalam rumah urusan perempuan dan pekerjaan di luar rumah sebagai tanggung jawab laki-laki. Namun, karena munculnya desakan ekonomi dan berbagai alasan lain menyebabkan bergeser dan kaburnya pembatas antara peran perempuan dan laki-laki di dalam maupun di luar rumah.
Akan tetapi, proses ini tidak menyebabkan perubahan secara utuh, sehingga tidak jarang muncul kesalahpahaman dan konflik peran pada perseorangan, kelompok dan masyarakat keseluruhan. Ketimpangan tanggung jawab atas pergeseran peran telah terjadi, mengakibatkan sebagian besar perempuan memiliki jam kerja lebih lama dari rata-rata jam kerja laki-laki (Hubeis, AV:1987). Kekeliruan ini berlanjut dalam menentukan jenis pekerjaan yang cocok dan tidak cocok untuk dilakukan oleh seorang perempuan atau laki-laki. Karena dianggap lemah maka hanya pekerjaan ringan yang cocok untuk perempuan, sedang laki-laki melakukan pekerjaan berat.
Namun dalam realitasnya, tidak selamanya perempuan merupakan sosok manusia lemah fisik atau nalar, begitu pula sebaliknya bahwa tidak selamanya laki-laki selalu tampil dengan memiliki fisik dan penalaran yang lebih baik. Dengan melihat kondisi di atas, perlu dilakukan represepsi yang mengacu pada suatu wawasan bahwa laki-laki atau perempuan sebagai
manusia memiliki kesamaan kemampuan dalam berprestasi (Hubeis, AV:2010,74).

D. DISKRIMINASI PEREMPUAN DI TEMPAT KERJA
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, diskriminasi adalah pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara (berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama, dsb). Hal yang sama juga dibahasakan pada Konvensi ILO No.111 pasal 1 ayat (1), istilah diskriminasi
meliputi setiap perbedaan, pengecualian atau pilihan atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, keyakinan politik, kebangsaan atau asal usul dalam masyarakat, yang mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya kesetaraan kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan.
Munculnya istilah diskriminasi terhadap perempuan tentu saja tidak terlepas dari hadirnya gerakan feminisme. Seluruh gerakan feminis berangkat dari kesadaran akan diskriminasi, ketidaksetaraan, ataupun ketidakadilan terhadap perempuan. Feminisme sebagai teori perubahan sosial dan pembangunan merupakan gejala baru, tepatnya ketika gerakan feminis
merespon dan melakukan kritik terhadap teori pembangunan yang berkembang pesat sekitar tahun 1976.
Latar belakang perkembangan teori perubahan sosial dan kritik terhadap pembangunan dari perspektif feminisme dicetuskan pada suatu konferensi tentang pengintegrasian kaum perempuan dalam ekonomi yang diselenggarakan di Wesley College, Amerika Serikat. Dari konferensi itulah berkembang suatu pengetahuan baru yang segera menjalar ke birokrasi pembangunan, sehingga mempergaruhi lahirnya urusan Women in Development (WID) yang mulai dibuka di USAID. WID dikembangkan dan difokuskan pada isu langsung yang berkenaan dengan usaha mendorong partisipasi kaum perempuan dalam program pembangunan (M. Fakih: 2009).
Feminisme liberal menjadi landasan analisis sesungguhnya muncul sebagai kritik terhadap teori politik liberal yang umumnya menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan dan nilai moral dan kebebasan individu, tetapi pada saat yang sama dianggap mendiskriminasi kaum perempuan. Asumsi dasar feminisme liberal berakat pada pandangan bahwa kebebasan dan equalitas berakar pada pandangan pemisahan antara dunia pribadi dan umum (M.Fakih: 2009, 148).
Sehingga kerangka perjuangan feminisme liberal tertuju pada kesempatan dan hak yang sama. Diskriminasi yang menimpa kaum perempuan memunculkan persepsi bahwa perempuan dilahirkan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang jauh lebih terbatas jumlahnya dengan status pekerjaan rendah dengan imbalan (upah/gaji) yang rendah pula.
Pekerjaan perempuan selama ini umumnya terbatas pada sektor rumah tangga (sektor domestik) (Wirartha:2000). Walaupun kini, para perempuan mulai menyentuh pekerjaan di sektor publik, jenis pekerjaan inipun merupakan perpanjangan dari pekerjaan rumah tangga
(Siagian:1993, Fakih:1996), misalnya: bidan,juru rawat, guru, sekretaris dan pekerjaan lainnya yang lebih banyak memerlukan keahlian manual.
Selain itu di tempat kerja, masih ditemukan adanya praktek yang tidak memberikan kesempatan perempuan untuk terjun ke dunia kerja seperti diskriminasi dalam proses rekrutmen, pelecehan seksual dan diskriminasi (Dameria, Eny: 2008) dalam kenaikan pangkat. Pada perusahaan tertentu sering digunakan kriteria jenis kelamin yang membatasi kesempatan kaum perempuan untuk menduduki posisi-posisi jabatan tertentu dalam perusahaan (Notosusanto:1994).
Munculnya diskriminasi di tempat kerja, karena pekerja perempuan dianggap memiliki human capital (pendidikan, pelatihan, dan pengalaman kerja) yang lebih sedikit dibanding dengan pekerja laki-laki (Sumanto: 1993). Hal ini disebabkan, karena secara kultural sebagian masyarakat masih dipengaruhi secara kuat oleh budaya patriarki yang menimbulkan
ketimpangan struktur sehingga perempuan menjadi terbatas untuk memperoleh akses pendidikan, ekonomi dan berorganisasi (Hatta: 2006).
Dampak lain dari sistem dominasi di lingkaran budaya patriarki ini membuat mitos ataupun stereotipe tersendiri bagi pekerja perempuan, seperti sebagai berikut:
1. Perempuan sebagai pekerja ideal, terampil, rajin dan teliti;
2. Pekerja perempuan bahagia dengan kesempatan kerjanya, sehingga mudah diatur dan tidak banyak menuntut.
Kedua hal di atas banyak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk mengakumulasi modal (Tjandraningsih: 1997). Hal inilah yang menyebabkan munculnya ketidakadilan dan melahirkan diskriminasi terhadap perempuan. Jika posisi pekerja perempuan dikaitkan dengan isu gender, maka akan ada beberapa hal yang muncul (Daulay, Harmona, 2006), yaitu sebagai berikut:
1. Permasalahan marginalisasi, subordinasi dan stereotipe sosial.
a. Berkaitan dengan konteks marginalisasi, pekerja perempuan diasosiasikan penempatannya pada pekerjaan-pekerjaan yang marginal. Karena pekerja perempuan mempunyai sifat halus dan telaten, sehingga ekerjaan yang diberikan merupakan pekerjaan yang kurang penting dan berupah rendah.
Selain itu, karena tingginya tingkat absensi pekerja perempuan yang disebabkan hal biologis (cuti hamil dan melahirkan) sering dijadikan alasan untuk menempatkan perempuan dalam pekerjaan yang marginal (Abdullah, 1995).
b. Konteks subordinasi tidak akan melepaskan pembicaraan tentang hubungan kekuasaan antara kelompok yang tersubordinasi. Dikaitkan dengan ketenagakerjaan, makan muncul anggapan bahwan perempuan adalah makhluk irrasional, emosional, dan lemah sehingga
menempatkan perempuan pada posisi yang kurang penting. Sedangkan, laki-laki disimbolkan sebagai “tuan” yang mengakibatkan pandangan bahwa perempuan sebagai relasinya adalah budak.
c. Stereotipe merupakan pelabelan atau ciri-ciri penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Adanya budaya patriarki yang telah terinternalisasi dalam masyarakat melahirkan stereotipe tentang keberadaan perempuan dalam masyarakat. Perempuan dianggap mempunyai fungsi atau posisi yang layak di rumah, sehingga dilekatkan label domestik. Stereotipe ini juga masuk di tempat kerja dengan menempatkan posisi perempuan berkenaan dengan barang-barang yang dikerjakan di dalam pabrik, biasanya dekat dengan yang dikonsumsi perempuan sehingga muncul feminisasi dalam dunia kerja.
2. Munculnya permasalahan ketidakadilan gender di tempat kerja
a. Jenis pekerjaan.
Di tempat kerja ada beberapa jenis pekerjaan yang dianggap tidak sesuai jika dilakukan oleh perempuan. Pekerjaan tersebut biasanya membutuhkan tenaga yang kuat dan termasuk dalam pengambilan keputusan yang strategis. Pekerja perempuan biasanya ditempatkan pada bagian yang membutuhkan ketelitian dan tidak membutuhkan kekuatan fisik yang berat.
b. Penyediaan fasilitas kerja yang berbeda
Hal ini berkaitan dengan kondisi biologis antara perempuan dan laki-laki. Di dalam penyediaan fasilitas kerja, perempuan memerlukan tempat-tempat yang berbeda dengan laki-laki. Termasuk adanya fasilitas kesehatan di dalam merawat diri mereka ataupun berkaitan
dengan kesehatan reproduksinya.
c. Perbedaan pemberian upah
Kebijakan upah didasarkan pada kebutuhan fisik minimum, juga berdasarkan adanya perbedaan kebutuhan dasar antara para pekerja laki-laki dan perempuan. Perhitungan ini dipengaruhi anggapan bahwa perempuan bukan sebagai pencari nafkah utama keluarga.
Karenanya dalam penentuan komponen upah ini, standar yang digunakan adalah kebutuhan
fisik laki-laki.
d. Jenjang karir
Pekerja perempuan tidak dipercaya dalam memegang posisi strategis, karena gender dan stereotipe perempuan lebih emosional dan rata-rata memiliki pendidikan yang rendah.
e. Pelecehan seksual
Pekerja perempuan dianggap sebagai pihak yang pantas melakukan gangguan dan godaan, yang berkembang menjadi pelecehan. Hal ini muncul karena adanya ketimpangan ekonomi.  Ditambah tidak adanya jaminan keamanan dan hukum yang membuat perempuan memiliki
kekuatan untuk terlibat dalam suatu pekerjaan. Gangguan ini sering menyebabkan perempuan meninggalkan tempat kerja dan keluar.
E. PERAN NEGARA DALAM MELINDUNGI PARA PEKERJA
Menurut Logemann, negara adalah suatu organisasi kemasyarakatan yang bertujuan untuk mengatur serta menyelenggarakan sesuatu dalam masyarakat. Sedangkan, Hans Kelsen mendefinisikan negara sebagai suatu susunan pergaulan hidup bersama dengan tata paksa. Roger F. Soultau mengartikan negara merupakan alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, negara mempunyai dua pengertian. Pertama, negara adalah organisasi di suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati rakyatnya. Kedua, negara adalah kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisir di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai satu kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.
Dari pendapat para ahli mengenai pengertian negara, maka secara garis besar terdapat 3 unsur dalam sebuah negara, yaitu:
1. Rakyat
Orang-orang yang bertempat tinggal di wilayah itu, tunduk pada kekuasaan negara dan mendukung negara yang bersangkutan.
2. Wilayah
Daerah yang menjadi kekuasaan negara serta menjadi tempat tinggal bagi rakyat negara. Wilayah juga menjadi sumber kehidupan rakyat negara yang meliputi wilayah laut, darat dan udara.
3. Pemerintah berdaulat
Adanya penyelenggara negara yang memiliki kekuasaan menyelenggarakan pemerintahan di negara tersebut. Pemerintah memiiki kedaulatan baik ke dalam yaitu memiliki kekuasaan untuk ditaati oleh rakyatnya; serta kedaulatan ke luar yang artinya negara mampu mempertahankan diri dari serangan negara lain.
Ketiga unsur di atas merupakan unsur konstitutif atau sebagai unsur pembentuk. Selain unsur di atas, pengakuan dari negara lain merupakan unsur deklaratif yaitu unsur yang sifatnya menyatakan, bukan sebagai unsur yang mutlak.
Negara merupakan sebuah organisasi yang tidak hadir begitu saja, tetapi negara hadir memiliki fungsi dan tujuannya, serta dibentuk untuk menjalankan tugas-tugas tertentu. Fungsi negara merupakan gambaran yang dilakukan negara untuk mencapai tujuannya. 
Berikut fungsi-fungsi negara menurut beberapa ahli.
1. Menurut John Locke, negara memiliki 3 fungsi yaitu:
a. Fungsi legislatif, untuk membuat peraturan;
b. Fungsi eksekutif, untuk melaksanakan peraturan;
c. Fungsi federatif, untuk mengurusi urusan luar negeri dan urusan perang
dan damai.
2. Montesquieu dengan teori Trias Politica, fungsi negara sebagai berikut:
a. Fungsi legislatif, membuat undang-undang;
b. Fungsi eksekutif, melaksanakan undang-undang;
c. Fungsi yudikatif, untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang (fungsi mengadili).
3. Menurut Mirriam Budiardjo, fungsi pokok negara adalah sebagai berikut:
a. Melaksanakan penertiban untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan dalam masyarakat (stabilisator);
b. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Fungsi ini dijalankan dengan melaksanakan pembangunan di segala bidang;
c. Fungsi pertahanan untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar;
d. Menegakkan keadilan melalui pembentukan badan-badan pengadilan.
4. Mc Iver menjelaskan bahwa ada 3 fungsi negara, yaitu:
a. Berfungsi dalam kebudayaan;
b. Berfungsi dalam bidang kesejahteraan umum;
c. Berfungsi dalam bidang perekonomian.
Pada intinya, semua negara dibentuk untuk mensejahterakan rakyatnya. Dan kesejahteraan rakyat pada hakekatnya merupakan bentuk campur tangan dari pemerintah. Kesejahteraan masyarakat merupakan hal yang wajib dipenuhi oleh negara untuk warganya dalam kondisi dan situasi apapun. Pekerja sebagai bagian dari masyarakat pun harus menikmati kesejahteraan tersebut.
Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 pasal 1, pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Sesuai dengan pengertian pekerja berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, merupakan orang yang bekerja; orang yang menerima upah atas hasil kerjanya; buruh; karyawan.
Pekerja, karyawan atau biasa juga disebut sebagai buruh merupakan pihak yang cukup banyak menyumbangkan perubahan dalam pembangunan sebuah negara. Tak dapat dipungkiri, pekerja menjadi tulang punggung atas terlaksananya seluruh aktivitas di semua aspek kehidupan berbangsa bernegara. Dengan besarnya partisipasi pekerja dalam peningkatan ekonomi sebuah negara, mengharuskan negara (pemerintah) memberikan perhatian lebih terhadap kondisi pekerja.
Negara harus bisa menjamin stabilitas pertumbuhan perekonomian. Tanpa adanya jaminan terhadap stabilitas pertumbuhan ekonomi, maka sulit pula menjamin kesejahteraan para pekerja. Bentuk pertanggungjawaban lain dari negara (pemerintah) terhadap perbaikan kondisi ketenagakerjaan di Indonesia adalah membuat regulasi yang tidak berat sebelah, dimana regulasi ini benar-benar harus dilaksanakan oleh seluruh pihak yang terkait.
Negara (pemerintah) turut campur tangan dalam peningkatan kesejahteraan pekerja melalui peraturan perundang-undangan guna memberikan jaminan kepastian hak dan kewajiban bagi semua pihak. Salah satu usaha yang dilakukan negara (pemerintah) yaitu melalui Konvensi ILO No. 111 tentang diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan yang telah
diratifikasi melalui UU No. 21 tahun 1999. Konvensi merupakan instrumen sah yang mengatur aspek-aspek administrasi perburuhan, kesejahteraan sosial atau hak asasi manusia. Bagi negara anggota yang meratifikasi konvensi mengemban dua tugas sekaligus, yakni komitmen resmi untuk menerapkan aturan-aturan konvensi, dan kemauan untuk menerima ukuran-ukuran penerapan yang diawasi secara internasional. Konvensi ILO No. 111 ini berisi tentang diskriminasi pekerjaan dan jabatan yang hadir untuk melindungi pekerja perempuan.
Konvensi hadir untuk menetapkan standar dan memberikan suatu model dan merangsang adanya peraturan perundangan tingkat nasional dan praktik-praktiknya di negara-negara anggota. Konvensi ILO No. 111 bertujuan untuk  mempromosikan kesempatan dan perlakuan yang sama dalam pekerjaan dan jabatan yang mengarah kepada penghapusan segala bentuk diskriminasi berdasarkan asal muasal termasuk jenis kelamin melalui metode sesuai dengan kondisi nasional. Selain itu, Konvensi ILO No. 111 hadir sebagai pelengkap Konvensi ILO No. 100 tentang pemberian upah yang setara untuk pekerjaan yang mempunyai nilai
setara antara laki-laki dan perempuan.
Untuk melindungi pekerja dari hal-hal yang sifatnya tidak mendukung, peraturan-peraturan yang ada harus dilaksanakan oleh semua pihak yang terkait. Dan tentu saja dengan hadirnya konsep pengawasan mempermudah realisasi peraturan ketenagakerjaan yang ada.

2.2 Penampilan Anggapan

Para perempuan di Indonesia selalu dikatakan jika sudah melaksanakan jenjang sekolah, jika ia tidak kuliah atau kerja, maka mereka akan menikah dan selalu mengurusi dapur. Asumsi tersebut di masyarakat sangatlah tidak asing lagi. Maka jangan heran jika perempuan di Indonesia di anggap rendah bagi sebagianmasyarakat.
Hak-hak asasi perempuan di Indonesia sangatlah kurang diperhatikanoleh sebagian masyarakat.Pembagian peran secara seksual yakni yang menempatkan perempuan di rumah(sektor domestik/privat) dan laki-laki di luar rumah (sektor publik) menyebabkanterbatasnya akses perempuan terhadap sumber daya ekonomi, sosial, dan politik.
Selain menjadi korban diskriminasi, perempuan juga menjadi obyek yang sangatriskan terhadap tindak kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan merupakan produk historis yang telah berlangsung lama. Kekerasan terhadap perempuan bukan hanya masalah tindak kriminal, tetapi juga merupakan pengebirian terhadap Hak Asasi Manusia, terutama Hak Asasi Manusia bagi perempuan (Women’s Human Rights).
Undang-undang Dasar kita yang dirumuskan pada Tahun 1945 sejak semula telah mencantumkan dalam Pasal 27 (1), bahwa semua orang mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum. Jadi sejak Tahun 1945 di negara kita prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan di depan hukum telah diakui.
Ketentuan dalam GBHN 1993-1998 juga mengemukakan prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuanseperti yang dapat dibaca berikut ini: “perempuan, baik sebagai warga negaramaupun sebagai sumberdaya insani pembangunan, mempunyai hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam pembangunan di segala bidang”.
Di bidang hukum yang mengatur tentang hak-hak tenaga kerja, negara kita telah meratifikasi Konvensi ILO No. 100, yaitu mengenai pengupahan yang sama untuk laki-laki dan perempuan pekerja untuk pekerjaan yang sama nilai, sehingga kita terikat untuk mengintegrasikannya ke dalam perundang-undangan kita.
Semua ketentuan undang-undang serta ketentuan dalam GBHN yang telah dikutip tadi menjadi bukti yang nyata, bahwa pembuat undang-undang di negara kita memang menyetujui prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan. Kemudian ketentuan harus dijamin, bahwa perempuan menikmati perlindungan hak-hak asasinya seperti halnya laki-laki, yang berarti bahwa diskriminasi terhadap perempuan dilarang, menjadi hukum positif di negara kita dengan ratifikasi terhadap Konvensi PBB mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap perempuan (disingkat dengan Konvensi Perempuan) melalui UndangUndang No. 7 Tahun 1984. Di kalangan PBB konvensi ini telah diterima pada Sidang Umum tahun 1979, dan pembuatan konvensi ini dilatar-belakangi oleh fakta, bahwa resolusi-resolusi serta deklarasi-deklarasi, seperti Deklarasi Universal mengenai Hak-hak Asasi Manusia atau Deklarasi mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, sebagai instrumen tidak mampu menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan. Hak-hak asasi perempuan tetap dilanggar secara meluas. Maka itu Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap perempuan dianggap perlu dibuat dan diharapkan dapat bekerja sebagai instrumen yang lebih efektif dalam mencegah dan menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan. Harapan ini didasarkan pada konsekuensinya, antara lain adalah negara penandatangan mengikat diri untuk mengeluarkan berbagai peraturan, dan mengadakan berbagai kebijaksanaan maupun langkah-langkah lainnya wilayah negaranya untuk menjamin terhapusnya diskriminasi terhadap perempuan.
Walaupun telah jelas-jelas digariskan bahwa harus menjamin supaya perempuan memperoleh perlakuan yang setara dengan laki-laki, fakta-fakta menunjukkan diskriminasi yang berkelanjutan terhadap perempuan.
Berbagai hal terjadi pada perempuan, yang dapat kita amati, yang beritanya kita baca dalam media masa, malahan berbagai rumusan undang-undang menunjukkan bahwa perlakuan diskriminatif terhadap perempuan masih berlangsung terus. 
Beberapa contoh perlakuan diskriminatif yang meluas adalah gaji yang diterima oleh tenaga kerja perempuan lebih rendah dari yang diterima oleh laki laki. Kemudian pekerjaan perempuan yang berwujud sebagai curahan waktu yang panjang untuk mengurus rumah tangga, mengurus anak-anak, mengurus berbagai keperluan suami tidak memperoleh penilaian dalam arti tidak diperhitungkan sebagai sumbangan bagi ekonomi rumah tangga.
Hal lain adalah anggapan bahwa anak laki-laki itu jaminan di hari tua dan anak perempuan bukan. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa investasi keluarga bagi pendidikan anak laki-laki lebih besar dibandingkan dengan investasi bagi pendidikan anak perempuan.
Pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia bagi perempuan di Indonesia pun cukup banyak terjadi. Kekerasan terhadap perempuan, pembedaan upah, pelanggaran hak-hak kerja seperti hak cuti haid atau hamil, kekerasan dalam keluarga, komposisi perempuan dalam badan eksekutif, legislatif ataupun yudikatif yang masih belumseimbang, dan sebagainya adalah sebagian contoh betapa Hak Asasi Manusia bagi perempuan di Indonesia belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Padahal pemerintah Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi internasional yangmengatur masalah Hak Asasi Manusia bagi perempuan, seperti Konvensi Anti Diskriminasi terhadap perempuan, Konvensi Penghapusan Tindak Kekerasanterhadap perempuan, dan Konvensi Hak Politik perempuan. Tetapi dalamkenyataanya, penghormatan terhadap HakAsasi Manusia bagi perempuan belumdapat ditegakkan di Indonesia.
Penghapusan Tindak Kekerasan Terhadap perempuan (The Declaration on the Elimination of Violence Against Women) yang ditandatangani pada bulanDesember 1993, dalam pembukaannya menyatakan: “violence against women is a manifestation of historically unequal power relationsbetween men and women which have led to domination over and discriminationagainst women by men.” Yang artinya “kekerasan melawan perempuan adalah satu penjelmaan darimenurut sejarah Power berbeda hubungan di antara para laki-laki dan perempuanyang mana telah memimpin ke dominasi berlalu dan diskriminasi melawan perempuan oleh orang-orang”.
Deklarasi ini menerima kenyataan bahwa tindak kekerasan terhadap perempuanadalah suatu bentuk manifestasi dari sajarah dan telah terkonstruksi secara sosial.Tetapi, tindak kekerasan ini dipandang telah melanggar norma-norma yang berlakusecara universal terhadap penghormatan Hak Asasi Manusia, dan negara berkewajiban untuk memberikan hukuman bagi pelakunya.
Kekerasan terhadap perempuan adalah kesuliatan yang paling utama dalam usahamenegakkan perlindungan Hak Asasi Manusia bagi perempuan di seluruh dunia.Tindak kekerasan telah menghalangi perempuan untuk ikut berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan kehdupan bernegara di negaranya. Hak-hak demokrasi mereka pun tidak diakui. Semakin meningkatnya tindak kriminal terhadap perempuan adalah akibat langsung dari tidak diakuinya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Ketidak adanya pengakuan akan adanya kesejajaran antara priadan perempuan inilah yang mendorong aktifis feminis di penjuru duniamemperjuangkan sebuah konvensi yang bersifat internasonal yang mengatur  penghapusan tindakan kekerasan terhadap perempuan.

2.3 Pernyataan Hipotesa

Permasalahan yang dihadapi oleh Perempuan Indonesia saat ini sangat kompleks. Kompleksnya masalah tersebut membutuhkan suatu strategi yang mampu secara mendasar mengubah pandangan masyarakat terhadap perempuan. Dimulai dari pola kehidupan masyarakat Indonesia yang beranggapan dimana laki-laki adalah kepala keluarga dan imam dalam rumah tangga, jadi terdapat keengganan laki-laki untuk dipimpin oleh perempuan. Laki-laki dianggap lebih mampu menjadi pemimpin dan memiliki pengaruh yang lebih besar daripada perempuan. 
Kemudian pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga  dimana laki-laki dianggap hanya mengurusi urusan diluar dari rumah tangga, yaitu bahwa seorang laki-laki (dalam hal ini disebut sebagai suami) bekerja mencari nafkah untuk keluarga sedangkan perempuan dalam rumah tangga bekerja mengurusi rumah, memasak, mendidik anak yang kemudian menyimpulkan pada anggapan bahwa perempuan hanya mengurusi masalah didalam rumah tangga. Hal ini berakibat kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap perempuan apabila perempuan memasuki dunia luar yang secara garis besar merupakan kegiatan publik.
Gerakan untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan masih terbatas pada kalangan kelas menengah ke atas. Gerakan perempuan yang baru tumbuh ini masih belum mampu menyaingi kekuatan organisasi-organisasi perempuan yang dibentuk oleh negara.
Organisasi-organisasi perempuan yang dibentuk oleh negara ini memiliki kemampuan menjangkau basis dukungan dibentuk oleh negara ini memiliki kemampuan menjangkau basis dukungan dimampu diberikan dalam spektrum pemberitaan di media massa, baik cetak maupun elektronik.
Masalah ini tentu bukanlah masalah sepele atau tidak penting. Masalah seperti ini adalah masalah serius yang harus disikapi dan ditindak secara tegas oleh para penegak hukum. Hal ini tentu saja sangat merugikan kaum perempuan, baik secara fisik dan mental mereka mengalami trauma berat. Padahal secara hukum setiap warga negara Indonesia dijaga, dilindungi, dan dijamin kesejahteraannya. Hal ini sesuai dengan tujuan nasional bangsa Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea keempat yaitu “ melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam ketertiban dunia.
Upaya mobilisasi dan pengorganisasian untuk menanggulangi berbagai masalah perempuan, seperti dalam penanganan kasus perkosaan dan pelecehan seksual misalnya, masih sulit untuk dilakukan.  Namun betapapun suramnya, perkembangan ini dapat dikatakan sebagai suatu kemajuan. Hal ini nampak setelah dibandingkan dengan lamanya ‘masalah perempuan’ menjadi terbengkalai karena ditangani oleh birokrasi yang tidak tanggap mengikuti perkembangan. Namun disisi lain, lingkungan yang cenderung eksklusif ini juga mendorong masalah perempuan menjadi bahan diskusi akademis yang ‘mewah’. Artinya ada kecenderungan untuk memandang bahwa masalah-masalah yang menyangkut kaum perempuan belum mendapatkan prioritas utama sebagai suatu masalah yang harus segera diselesaikan.

2.4 Hasil yang Diharapkan

Dalam hal ini negara memegang peranan yang penting bagi penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Karena tindakan kekerasan terhadap perempuan terjadi dalam suatu negara, sehingga negara bertanggung jawab untuk melakukan tindakan nyata untuk mengeliminir tindakan kekerasan terhadap perempuan. Faktor ekonomi dan sosial juga memegang peranan penting dalam usaha perlawanan terhadap tindak kekerasan terhadap perempuan. Adanya kebebasan dalam bidang ekonomi akan memberikan kebebasan kepada perempuan untuk keluar dari sebuah krisis yang akut dan menghindari tindakan pelecehan seksual yang kerap kali terjadi di sentra-sentra ekonomi.
Ideologi agama dan budaya juga memegang peranan penting dalam melawan tindak diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Negara tidak boleh memakai alasan adat, tradisi, atau agama untuk membenarkan tindak diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Diskriminasi dan kekerasan terhadap kaum perempuan adalah suatu penghambat bagi tercapainya sasaran-sasaran persamaan, pembangunan, dan perdamaian. Diskriminasi dan kekerasan terhadap kaum perempuan melanggar, merugikan atau membatalkan penikmatan kaum perempuan akan hak-hak asasi dan kebebasan dasarnya. Karena pada akhirnya segala usaha utuk pemenuhan Hak Asasi Manusia umumnya dan Hak Asasi Perempuan khususnya bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh umat manusia baik laki-laki ataupun perempuan tanpa kecuali. Hal ini sesuai dengan ideologi pancasila dan UUD 1945 sebagai pedoman hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan asas demokrasi.

 

BAB III ANALISA DAN PENETAPAN METODE

3.1 Sample, Prosedur Sampling

KISAH PILU KAUM PEREMPUAN INDONESIA SEPANJANG MASA

Pada zaman kerajaan dahulu banyak kaum perempuan yang menjadi pembantu/budak raja baik untuk mengurus keperluan rumah tangga istana maupun untuk memuaskan kebutuhan biologis para penguasa. Di masyarakat Jawa sebagai contoh, banyak gadis-gadis desa yang menjadi pelayan sek raja ketika sang raja berkunjung ke desa tersebut, meskipun mereka tidak diangkat menjadi istri dan hanya diberi imbalan uang atau harta saja. Banyak pula gadis-gadis yang tinggal di sekitar kraton yang dipanggil masuk ke istana raja, bukan untuk dinikah oleh raja tetapi hanya menjadi pelayan sek raja. Pada zaman penjajahan banyak pula kaum perempuan yang mengalami nasib hampir sama dengan apa yang dialami oleh kaum perempuan pada masa kerajaan, pada masa penjajahan banyak kaum perempuan yang dijadikan budak sek oleh laki-laki bangsa penjajah. Salah satu sebutan yang populer pada masa itu adalah ‘gundik’ dan jugun ian fu. Kepedihan yang dialami oleh kaum perempuan terus berlanjut hingga masa kini setelah kita mengenyam kemerdekaan lebih dari 60 tahun. Meskipun bentuk diskrimasi dan exsploitasi yang dialami pada masa kini tidak se-exstrim pada masa lalu, namun harus jujur kita akui bahwa hal itu masih terjadi.
“Pada saat ini kondisi kaum perempuan di negeri ini memang telah mengalami perbaikan di bandingkan dengan masa-masa dahulu. Kita dapat melihat bagaimana kaum perempuan dapat menikmati hak-hak yang sama dengan kaum laki-kaki, hampir di semua bidang kehidupan. Sebagai contoh kaum perempuan telah merasakan hak untuk mengenyam pendidikan, sebuah hak yang tidak pernah dapat dirasakan ketika negeri ini masih dalam masa penjajahan. Di bidang politik kaum perempuan juga mulai banyak terlibat, lebih-lebih dengan adanya kebijakan nasional yaitu pemberian kuota 30% bagi kaum perempuan untuk duduk di lembaga legislatif. Suatu privilage yang tidak mungkin dirasakan oleh kaum perempuan di masa-masa dulu.  Dan masih banyak contoh lain yang dapat memberi gambaran kepada kita bahwa pada masa kini kaum perempuan Indonesia telah memperoleh hak-hak nya yang pada masa lalu tidak diberikan. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah semua itu telah menjadi cerminan bahwa pada masa kini kaum perempuan telah benar-benar merdeka, terlepas dari belenggu diskriminasi dan eksploitasi yang selama ini mengekang kebebasan mereka ?’
Terkait dengan pertanyaan yang dilontarkan tersebut penyaji menyampaikan jawaban bahwa semua yang telah dialami oleh kaum perempuan pada saat ini ternyata tidak dapat menjadi gambaran bahwa kaum perempuan Indonesia telah menikmati keteraan hak dengan kaum pria dan telah lepas dari belenggu diskriminasi dan exsploitasi. Kita harus jujur bahwa masih banyak perempuan Indonesia yang pada saat ini belum dapat menikmati hak-hak seperti yang dinikmati oleh kaum laki-laki selama ini. Adanya kebijakan kuota 30% bagi kaum perempuan di lembaga legislatif misalnya, belum dapat menjamin bahwa mereka benar-benar akan dapat masuk ke lembaga tersebut karena ternyata dalam implementasinya banyak kebijakan-kebijakan yang jutru kontraproduktif dengan kebijakan tersebut. Ketika undang-undang mewajibkan partai politik untuk menempatkan caleg perempuan di nomor jadi, ternyata turun kebijakan dari mahkamah konstitusi yang menentukan bahwa keterpilihan bukan berdasarkan nomor urut, melainkan berdasarkan jumlah perolehan suara. Mereka yang mendapat suara terbanyak yang berhak masuk parlemen. Hal itu jelas memperberat perjuangan caleg perempuan untuk dapat menjadi anggota legislatif karena mereka harus bersaing dengan caleg laki-laki yang pada umumnya memiliki sumber daya yang lebih unggul. Harus jujur diakui bahwa mereka belum dapat berperan secara maksimal dalam memperjuangkan kepentingan kaum perempuan karena masih kuatnya kekuasaan kaum pria. Pada umumnya anggota legislatif perempuan belum mendapatkan kesempatan yang sama untuk berbicara dalam forum persidangan dengan anggota legislatif pria. Setiap kali mereka tampil untuk menyampaikan suaranya, biasanya anggota legislatif dari kalangan laki-laki mencemoohnya sehingga membuat mentalnya jatuh. Mereka kebanyakan hanya dijadikan pemanis ruang sidang saja.

3.2 Metode dan Prosedur Pengolahan Data

Dalam konteks Indonesia, perjuangan kaum perempuan menentang diskriminasi dan ketimpangan gender harus juga berhadapan dengan ancaman pelanggaran Hak Asasi Manusia yang paling primitif di dalam kehidupan masyarakat modern, yakni pelanggaran hak-hak sipil dan politik. Ancaman pelanggaran hak sipil dan politik tersebut hinggap pada kaum perempuan secara individual maupun kolektif. Pelanggaran hak sipil dan politik itu mengambil bentuk yang beraneka ragam mulai dari pemukulan, penangkapan, perkosaan, hingga pembunuhan. Semua pelanggaran ini terutama terjadi di wilayah-wilayah yang sekarang ini memiliki kecenderungan konflik yang tinggi. Negara Indonesia masuk dalam kategori negara berkembang, dimana terjadi ketidak stabilan didalam perekonomiannya serta pertumbuhan ekonominya kurang baik. Masyarakat banyak yang hidup miskin serba kekurangan. Hal ini menyebabkan hak-hak kaum perempuan di Indonesia tidak menjadi prioritas dan kurang diperhatikan. Banyak kaum perempuan yang menjadi korban diskriminasi dan kekerasan, akibat dari tuntutan dan beban hidup yang berat. Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik sesungguhnya memberi perlindungan terhadap hak-hak individual. Namun untuk kasus Indonesia,  korban pelanggaran hak sipil dan politik sebagian justru berwatak kolektif. Pelanggaran ini juga menimpa kaum perempuan. Tindak diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan,sesungguhnya tidak lagi sekedar menjadi perilaku oknum yang menyimpang. Tindak diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan sudah merupakan bagian dari sistematika penundukan masyarakat sipil oleh negara. Kondisi kehidupan perempuan yang demikian menjadi landasan yang membedakan berbagai gerakan perempuan di Indonesia dengan gerakan perempuan di negara-negara industri maju. Kaum perempuan di Indonesia menghadapi problem ganda dalam perjuangannya. Pertama, kaum perempuan harus berhadapan dengankekuasaan yang otoriter. Kedua, pada saat yang bersamaan kaum perempuan juga harus menghadapi ideologi patriarki yang menjadi latar belakang kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan masalah perempuan. Di negara-negara industri maju, problem hak-hak sosial politik relatif terlindungi.
Dengan demikian, gerakan perempuan lebih dapat mengkonsentrasikan diri pada masalah ketimpangan hubungan gender dalam sistem masyarakat. Lain halnya dengan yang terjadi di Indonesia.                                                                                                                                                                            Parahnya situasi perlindungan terhadap hak sipil dan politik membuat nasib kaum perempuan menjadi sangat rentan dan memprihatinkan. Bahkan di dalam pekerjaan-pekerjaan yang dianggap domestik pun perempuan tidak terlindungi hak-hak sipil dan politiknya. Baik keluarga, komunitas setempat atau lingkungan tempat tinggalnya ternyata tidak sanggup menanggungancaman tersebut. Sementara itu akibat internasionalisasi tenaga kerja dan penetrasi modal, perjuangan perempuan juga harus menjawab tantangan maslahdiskriminasi upah, perlindungan keselamatan kerja di tingkat perusahaan, pelecehan seksual oleh atasan, dan sebagainya.

 

3.3 Metode dan Prosedur Penganalisaan Data

Istilah ‘kekerasan terhadap kaum perempuan’ berarti segala bentuk kekerasan yang berdasar jender yang akibatnya berupa atau dapat berupa kerusakan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis pada kaum perempuan. Termasuk didalamkategori ini adalah ancaman-ancaman dari perbuatan-perbuatan yang semacam itu,seperti paksaan atau perampasan yang semena-mena atas kemerdekaan, baik yangterjadi di tempat umum atau dalam kehidupan pribadi seseorang.
Kekerasan terhadap perempuan diantaranya meliputi:
a. Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi di dalam keluarga.Termasuk didalamnya pemukulan, penyalahgunaan seksual terhadap anak-anak  perempuan dalam rumah tangga, kekerasan yang bertalian dengan mas kawinyang tidak dibayarkan, perkosaan yang terjadi dalam ikatan perkawinan, perusakan terhadap alat kelamin (mutilasi) perempuan, dan praktek-praktek tradisonal lain yang merugikan kaum perempuan, kekerasan yang terjadi di luar hubungan suami-istri dan kekerasan lain yang berhubungandengan eksploitasi. 
b.Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat umum,termasuk perkosaan, penyalahgunaan seks, pelecehan seksual dan nacaman-ancaman di tempat kerja, di sekolah-sekolah dan dimana saja serta perdagangan perempuan maupun pemaksaan pelacuran.
c. Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau dibiarkan saja olehnegara dimanapun terjadinya.
d. Sterilisasi dan pengguguran kandungan yang dipaksakan, penggunaan alat-alat kontrasepsi secara paksa, pembunuhan bayi-bayi perempuan dan pemilihan jenis kelamin bayi pra kelahiran.
Istilah diskriminasi secara singkat yaitu perlakuan terhadap orang atau kelompok yang didasarkan pada golongan atau kategori tertentu.
Sementara itu dalam pengertian lain diskriminasi dapat juga diartikan sebagai sebuah perlakuan terhadap individu secara berbeda dengan didasarkan pada gender, ras, agama, umur, atau karakteristik yang lain. Dari kedua definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa inti dari diskriminasi adalah perlakuan berbeda-beda terhadap manusia.
Untuk mendukung upaya penghapusan diskriminasi dalam berbagai bentuk, sasaran pembangunan yang akan dicapai adalah: 
1. Teroperasionalkannya peraturan perundang-undangan yang tidak mengandung perlakuan diskriminasi baik kepada setiap warga negara, lembaga/instansi pemerintah, maupun lembaga swasta/dunia usaha secara konsisten dan transparan;
2. Terkoordinasikannya dan terharmonisas/ikannya pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang tidak menonjolkan kepentingan tertentu sehingga dapat mengurangi perlakuan diskriminatif terhadap warga negara; dan
3. Terciptanya aparat dan sistem pelayanan publik yang adil dan dapat diterima oleh setiap warga negara.
Upaya penghapusan diskriminasi dalam berbagai bentuk dalam kurun waktu satu tahun ke depan diarahkan pada kebijakan untuk menciptakan penegakan dan kepastian hukum yang konsisten, adil dan tidak diskriminatif dengan langkah-langkah:
1. Meningkatkan upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi termasuk ketidakadilan gender bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum tanpa terkecuali; dan 
2. Menerapkan hukum dengan adil, melalui perbaikan sistem hukum yang profesional, bersih dan berwibawa.

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENYAJIAN DATA

4.1 Uraian Secara Singkat

Hak-hak asasi perempuan di Indonesia sangatlah kurang diperhatikan oleh sebagian masyarakat. Pembagian peran secara seksual yakni yang menempatkan perempuan di rumah (sektor domestik/privat) dan laki-laki di luar rumah (sektor  publik) menyebabkan terbatasnya akses perempuan terhadap sumber daya ekonomi, sosial, dan politik. Selain menjadi korban diskriminasi, perempuan jugamenjadi obyek yang sangat riskan terhadap tindak kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan merupakan produk historis yang telah berlangsung lama. Kekerasan terhadap perempuan bukan hanya masalah tindak kriminal, tetapi juga
merupakan pengebirian terhadap Hak Asasi Manusia, terutama Hak Asasi Manusia bagi perempuan (Women’s Human Rights).
Kekerasan terhadap perempuan adalah kesuliatan yang paling utama dalam usahamenegakkan perlindungan Hak Asasi Manusia bagi perempuan di seluruh dunia.Tindak kekerasan telah menghalangi perempuan untuk ikut berpartisipasi dalamkehidupan sosial dan kehidupan bernegara di negaranya. Hak-hak demokrasi mereka pun tidak diakui. Semakin meningkatnya tindak kriminal terhadap perempuan adalah akibat langsung dari tidak diakuinya persamaan hak antara priadan perempuan.
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, sebagai instrumen tidak mampu menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan. Hak-hak asasi perempuan tetap dilanggar secara meluas. Maka itu Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap perempuan dianggap perlu dibuat dan diharapkan dapat bekerja sebagai instrumen yang lebih efektif dalam mencegah dan menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan. Harapan ini didasarkan pada konsekuensinya, antara lain adalah negara penandatangan mengikat diri untuk mengeluarkan berbagai peraturan, dan mengadakan berbagai kebijaksanaan maupun langkah-langkah lainnya wilayah negaranya untuk menjamin terhapusnya diskriminasi terhadap perempuan. Walaupun telah jelas-jelas digariskan bahwa harus menjamin supaya perempuan memperoleh perlakuan yang setara dengan laki-laki, fakta-fakta menunjukkan diskriminasi yang berkelanjutan terhadap perempuan. Berbagai hal terjadi pada perempuan, yang dapat kita amati, yang beritanya kita baca dalam media masa, malahan berbagai rumusan undang-undang menunjukkan bahwa perlakuan diskriminatif terhadap perempuan masih berlangsung terus.
Ketidak adanya pengakuan akan adanya kesejajaran antara priadan perempuan inilah yang mendorong aktifis feminis di penjuru duniamemperjuangkan sebuah konvensi yang bersifat internasonal yang mengatur  penghapusan tindakan kekerasan terhadap perempuan.Karena pada akhirnya segala usaha utuk pemenuhan Hak Asasi Manusia umumnyadan Hak Asasi Perempuan khususnya bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraandan kebahagiaan seluruh umat manusia baik laki-laki ataupun perempuan tanpa kecuali.

 BAB V ANALISA DATA


5.1 Analisa Kualitatif 
Analisa data yang dilakukan dengan analisa kualitatif. Analisa kualitatif adalah analisa yang menempatkan penulis sebagai key instrument (instrumen penelitian) dengan data yang meliputi kata-kata tertulis atas lisan dari orang-orang yang memahami objek analisis. Di samping itu, pendekatan kualitatif lebih peka dan dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama serta pola-pola nilai yang dihadapi. Menurut Denzin dan Lincoln (1994 dalam Agus Salim, 2006) secara umum analisa kualitatif sebagai suatu  proses dari berbagai langkah yang melibatkan penulis, paradigma teoritis dan interpretatif, strategi analisis, metode pengumpulan data dan analisis data empiris, maupun pengembangan interpretasi dan pemaparan.
Pemerintah Indonesia telah menandatangani Konvensi Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan pada tanggal 29 Juli 1980 yaitu ketika diadakankonferensi sedunia tentang Perempuan di Coppenhagen, Denmark. Empat tahun kemudian yakni pada tanggal 24 Juli 1984 Konvensi ini diratifikasi denganUndang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Diskriminasi terhadap perempuan. Jauh sebelumnya Indonesia juga telah meratifikasi beberapa Piagam dan Konvensi Internasional yang berkaitan dengan persamaan hak perempuan dan laki-laki. Piagam dan Konvensi itu antara lain adalah Piagam PBB, Konvensi yang berkaitan dengan pekerjaan perempuan di dalam tanah dan pertambangan, Konvensi yang berkaitan dengan pembayaran kepada pekerja laki-laki dan perempuan untuk  pekerjaan yang sama nilainya (Konvensi ILO No. 100), Konvensi Hak-hak Politik Perempuan (UU No. 18/1956). Konvensi terhadap diskriminasi dalam pendidikan, dan sebagainya.
Beberapa prinsip dalam konvensi-konvensi tersebut secara eksplisit telah tertuang pula dalam peraturan perundangan kita. Namun jika kita kaji lebih jauh tampak bahwa pelaksanaan Konvensi ini menghadapi kendala struktural maupun kultural. Kendala kultural menyangkut sikap masyarakat yang masih enggan untuk mengakui persamaan laki-laki dengan perempuan. Sikap ini seringkali dikuatkan oleh berbagai ajaran agama, adat, dan budaya yang masih dianut sampai saat ini. Tragisnya sikap ini kemudian diadopsi menjadi sikap resmi negara sebagaimana diatur dalam penjelasan UU Nomor 7 tahun 1984 yang berbunyi:“Dalam pelaksanaannya, ketentuan dalam Konvensi ini wajib disesuaikan dengan tata kehidupan
masyarakat yang meliputi nilai-nilai budaya, adat istiadat serta norma-norma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara luas oleh masyarakat Indonesia.”
Dari bunyi penjelasan tersebut jelaslah bahwa ada ketidak-konsistenan dalam usaha menerapkan konvensi ini (antara lain menghilangkan hambatan adat, tradisi, budaya, dan ajaran agama yang mendiskriminasikan perempuan, sebagaimanadiamanatkan dalam pasal 2,3,4,5 Konvensi), namun di pihak lain pelaksanaan  konvensi ini justru harus disesuaikan dengan adat, kebiasaan, tradisi, dan ajaranagama. Akibatnya, di tingkat peraturan pelaksanaan, yang terjadi justru penguatan asumsi-asumsi gender dan nilai-nilai yang stereotype tersebut.

5.2 Kesimpulan dari Analisa

Kendala struktural berkaitan dengan berbagai kebijakan baik yang umum maupun yang khusus yang ditujukan kepada kaum perempuan yang secara prinsip juga bertentangan dengan prinsip-prinsip yang ada dalam Konvensi ini. Jika kita simak isi pasal 1 Konvensi Perempuan ini, dapat disimpulkan bahwa pemenuhan dan penghargaan terhadap Hak Azasi Manusia adalah prasyarat mutlak untuk dapatterlaksananya Konvensi ini. Namun tampaknya ada keengganan dan inkonsistensi dari pemerintah yang disatu pihak menendatangani dan meratifikasi Konvensi Perempuan, tapi di lain pihak enggan atau menolak mengakui/meratifikasi. Konvensi HAM lainnya, seperti Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Penolakan untuk mengakui HAM jelas merupakan kendala dalam upaya untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan, sehingga pelaksanaan Konvensi Perempuan ini menjadi sangat problematis.Perjuangan kaum perempuan untuk memperoleh dan menikmati hak asasinya masih jauh dari yang diharapkan. Ratifikasi berbagai konvensi tidak menjadi jaminan bahwa hak-hak tersebut akan terpenuhi. Masih harus dilakukan semacamagenda kerja dan aksi untuk merealisasikan yang sudah disepakati dalam berbagai konvensi tersebut.
Ini bukan hanya tugas kaum perempuan saja, tetapi juga kaumlaki-laki. Karena pada akhirnya segala usaha utuk pemenuhan Hak Asasi Manusia umumnya dan Hak Asasi Perempuan khususnya bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan seluruh umat manusia baik laki-laki ataupun perempuan tanpa kecuali.




 

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Ungkapan Kembali Secara Singkat

Hak-hak asasi perempuan di Indonesia sangatlah kurang diperhatikan olehsebagian masyarakat. Pembagian peran secara seksual yakni yang menempatkan perempuan di rumah (sektor domestik/privat) dan laki-laki di luar rumah (sektor  publik) menyebabkan terbatasnya akses perempuan terhadap sumber dayaekonomi, sosial, dan politik. Selain menjadi korban diskriminasi, perempuan jugamenjadi obyek yang sangat riskan terhadap tindak kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan merupakan produk historis yang telah berlangsung lama. Kekerasanterhadap perempuan bukan hanya masalah tindak kriminal, tetapi juga merupakan pengebirian terhadap Hak Asasi Manusia, terutama Hak Asasi Manusia bagi perempuan (Women’s Human Rights).
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, sebagai instrumen tidak mampu menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan. Hak-hak asasi perempuan tetap dilanggar secara meluas. Maka itu Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap perempuan dianggap perlu dibuat dan diharapkan dapat bekerja sebagai instrumen yang lebih efektif dalam mencegah dan menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan. Harapan ini didasarkan pada konsekuensinya, antara lain adalah negara penandatangan mengikat diri untuk mengeluarkan berbagai peraturan, dan mengadakan berbagai kebijaksanaan maupun langkah-langkah lainnya wilayah negaranya untuk menjamin terhapusnya diskriminasi terhadap perempuan. Walaupun telah jelas-jelas digariskan bahwa harus menjamin supaya perempuan memperoleh perlakuan yang setara dengan laki-laki, fakta-fakta menunjukkan diskriminasi yang berkelanjutan terhadap perempuan. Berbagai hal terjadi pada perempuan, yang dapat kita amati, yang beritanya kita baca dalam media masa, malahan berbagai rumusan undang-undang menunjukkan bahwa perlakuan diskriminatif terhadap perempuan masih berlangsung terus. 
Ketidak adanya pengakuan akan adanya kesejajaran antara priadan perempuan inilah yang mendorong aktifis feminis di penjuru duniamemperjuangkan sebuah konvensi yang bersifat internasonal yang mengatur  penghapusan tindakan kekerasan terhadap perempuan.Karena pada akhirnya segala usaha utuk pemenuhan Hak Asasi Manusia umumnyadan Hak Asasi Perempuan khususnya bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraandan kebahagiaan seluruh umat manusia baik laki-laki ataupun perempuan tanpa kecuali.

 

6.2  Nyatakan Kembali Metode yang Digunakan

Perjuangan kaum perempuan untuk memperoleh dan menikmati hak azasinyamasih jauh dari yang diharapkan. Ratifikasi berbagai konvensi tidak menjadi jaminan bahwa hak-hak tersebut akan terpenuhi. Masih harus dilakukan semacam agenda kerja dan aksi untuk merealisasikan yang sudah disepakati dalam berbagaikonvensi tersebut. Ini bukan hanya tugas kaum perempuan saja, tetapi juga kaumlaki-laki. Karena pada akhirnya segala usaha utuk pemenuhan Hak Azasi Manusiaumumnya dan Hak Azasi Perempuan khususnya bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan seluruh umat manusia baik laki-laki ataupun perempuan tanpa kecuali. Tindak diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan sudah merupakan bagian dari sistematika penundukan masyarakat sipil oleh negara. Kondisi kehidupan perempuan yang demikian menjadi landasan yang membedakan berbagai gerakan perempuan di Indonesia dengan gerakan perempuan di negara-negara industri maju. Kaum perempuan di Indonesia menghadapi problem ganda dalam perjuangannya. Pertama, kaum perempuan harus berhadapan dengankekuasaan yang otoriter. Kedua, pada saat yang bersamaan kaum perempuan juga harus menghadapi ideologi patriarki yang menjadi latar belakang kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan masalah perempuan.

6.3 Utarakan Kembali Penggarapan Masalah

Kekerasan terhadap perempuan diantaranya meliputi:
a. Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi di dalam keluarga.Termasuk didalamnya pemukulan, penyalahgunaan seksual terhadap anak-anak  perempuan dalam rumah tangga, kekerasan yang bertalian dengan mas kawinyang tidak dibayarkan, perkosaan yang terjadi dalam ikatan perkawinan, perusakan terhadap alat kelamin (mutilasi) perempuan, dan praktek-praktek tradisonal lain yang merugikan kaum perempuan, kekerasan yang terjadi di luar hubungan suami-istri dan kekerasan lain yang berhubungandengan eksploitasi. 
b. Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat umum,termasuk perkosaan, penyalahgunaan seks, pelecehan seksual dan nacaman-ancaman di tempat kerja, di sekolah-sekolah dan dimana saja serta perdagangan perempuan maupun pemaksaan pelacuran.
c.Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau dibiarkan saja olehnegara dimanapun terjadinya.
d.Sterilisasi dan pengguguran kandungan yang dipaksakan, penggunaan alat-alatkontrasepsi secara paksa, pembunuhan bayi-bayi perempuan dan pemilihan jenis kelamin bayi pra kelahiran.
Permasalahan yang dihadapi oleh Perempuan Indonesia saat ini sangat kompleks. Kompleksnya masalah tersebut membutuhkan suatu strategi yang mampu secara mendasar mengubah pandangan masyarakat terhadap perempuan. Dimulai dari pola kehidupan masyarakat Indonesia yang beranggapan dimana laki-laki adalah kepala keluarga dan imam dalam rumah tangga, jadi terdapat keengganan laki-laki untuk dipimpin oleh perempuan. Laki-laki dianggap lebih mampu menjadi pemimpin dan memiliki pengaruh yang lebih besar daripada perempuan. 
Kemudian pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga  dimana laki-laki dianggap hanya mengurusi urusan diluar dari rumah tangga, yaitu bahwa seorang laki-laki (dalam hal ini disebut sebagai suami) bekerja mencari nafkah untuk keluarga sedangkan perempuan dalam rumah tangga bekerja mengurusi rumah, memasak, mendidik anak yang kemudian menyimpulkan pada anggapan bahwa perempuan hanya mengurusi masalah didalam rumah tangga. Hal ini berakibat kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap perempuan apabila perempuan memasuki dunia luar yang secara garis besar merupakan kegiatan publik.
Gerakan untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan masih terbatas pada kalangan kelas menengah ke atas. Gerakan perempuan yang baru tumbuh ini masih belum mampu menyaingi kekuatan organisasi-organisasi perempuan yang dibentuk oleh negara. Organisasi-organisasi perempuan yang dibentuk oleh negara ini memiliki kemampuan menjangkau basis dukungan dibentuk oleh negara ini memiliki kemampuan menjangkau basis dukungan dimampu diberikan dalam spektrum pemberitaan di media massa, baik cetak maupun elektronik.

6.4  Saran dan Rekomendasi yang Relevan

Untuk mendukung upaya penghapusan diskriminasi dan kekerasan dalam berbagai bentuk, sasaran pembangunan yang perlu untuk dicapai adalah: 
1. Teroperasionalkannya peraturan perundang-undangan yang tidak mengandung perlakuan diskriminasi baik kepada setiap warga negara, lembaga/instansi pemerintah, maupun lembaga swasta/dunia usaha secara konsisten dan transparan;
2. Terkoordinasikannya dan terharmonisasikannya pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang tidak menonjolkan kepentingan tertentu sehingga dapat mengurangi perlakuan diskriminatif terhadap warga negara; dan
3. Terciptanya aparat dan sistem pelayanan publik yang adil dan dapat diterima oleh setiap warga negara.
Upaya penghapusan diskriminasi dan kekerasan dalam berbagai bentuk dalam kurun waktu satu tahun ke depan diarahkan pada kebijakan untuk menciptakan penegakan dan kepastian hukum yang konsisten, adil dan tidak diskriminatif dengan langkah-langkah:
1. Meningkatkan upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi termasuk ketidakadilan gender bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum tanpa terkecuali; dan 
2. Menerapkan hukum dengan adil, melalui perbaikan sistem hukum yang profesional, bersih dan berwibawa.
Seorang perempuan yang mencari penghapusan diskriminasi atau perlindunganhaknya sebagaimana yang disimpulkan bahwa hukum Indonesia perlu diubah.Dalam sistem hukum negara, seorang perempuan tersebut menemui pengakuan.Pengakuannya terdapat dalam UUD 1945 maupun Pancasila secara perlu diperbaiki maupun TAP MPR No.XVII/MPR/1998 sebagaimana dilaksanakan UU No.39/1999.

 















 

DAFTAR PUSTAKA

Djumhardjinis, 2006, Pendidikan Pancasila & Hak Asasi Manusia, Widya, Jakarta.
Erwin, Simponi, 2006, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Sinar Grafika,Jakarta.
H. Kaelan, MS, 2008, Pendidikan Pancasila, Pradigma, Yogyakarta.
Ihromi, T.O., Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, Alumni, Bandung,
2000.
Koran Kompas, 2012
Kumpulan Artikel-Artikel di InternetS. Soemarsono(Tim Lemhanas), 2004, Pendidikan Kewarganegaraan, Gramedia, Jakarta
Sulistyo, Hermawan, Anti Kekerasan, Grafika Indah, Jakarta, 2006.



















 

Lampiran

Daftar Riwayat Hidup
Nama                           : Fifi Tri Darmayanti
Jenis kelamin               :
Perempuan
Tempat, tanggal lahir  :
Jakarta,24 Agustus 1993
Kewarganegaraan       : Indonesia
Kesehatan                   : Baik
Agama                         :
Islam
Alamat lengkap           :
Komp TNI-AL ciangsana Bogor
Telepon, HP                :
 081225767786
E-mail                          :
 fifi.cecilia@yahoo.com
Pendidikan Formal
1998 - 1999 :
 TK HANG TUAH 6 CIANGSANA
1999 - 2005 :
 SDS HANG TUAH 7 BOGOR
2005 - 2008 :
 SMPN 15 BEKASI
2008 - 2011 : SMA
N 7 BEKASI
2011- sekarang : FE Universitas Gunadarma
Non Formal :
2011 Ganesha Operation
2011Kursus Bahasa Inggris di English First, Depok
Kemampuan :
·         Kemampuan Komputer (MS Word, MS Excel, MS Power Point, Corel Draw, Adobe Photoshop, PhotoScape)
·         Kemampuan Internet

Tidak ada komentar:

Posting Komentar